9 Juli 2013

Bertengkar Itu Indah


Bertengkar adalah fenomena yang sulit dihindari dalam kehidupan berumah tangga. Kalau seseorang berkata, “Saya tidak pernah bertengkar dengan isteri saya!” kemungkinannya dua, boleh jadi dia belum beristri dan ia tengan berdusta. Yang jelas kita perlu menikmati saat-saat bertengkar itu, sebagaimana lebih menikmati lagi saat tidak bertengkar. Bertengkar itu sebenarnya sebuah keadaan diskusi, hanya saja diantarkaan dalam muatan emosi.

Kalau tahu etikanya, dalam bertengkar pun kita bisa mereguk hikmah. Betapa tidak, setiap kata yang terucap mengandung muatan perasaan yang sangat dalam, yang mencuat dengan desakan energi yang tinggi, pesan-pesannya terasa kental, lebih mudah dicerna ketimbang basa-basi tanpa emosi.

Ketika akan menikah, cobalah untuk memikirkan dan merancang masa depan kehidupan berumah tangga. Satu hal yang jangan sampai terlupa adalah merumuskan apa yang harus dilakukan jika bertengkar. Beberapa poin di bawah ini barangkali bisa menjadi “ikatan pengertian” disaat bertengkar.

Kalau bertengkar tidak boleh berjamaah. Cukup seorang saja yang marah-marah, yang terlambat mengirim sinyal nada tinggi harus menunggu sampai yang satu reda. Untuk urusan marah pantang berjamaah. Seorangpun sudah cukup membuat rumah jadi meriah. Ketika anda marah dan dia mau menyela, segera anda katakana, “Stop! Ini giliran saya!” Begitupun jika giliran dia yang marah, jangan ikut ambil bagian.

Marahlah untuk persoalan itu saja, jangan ungkit yang telah using. Siapapun kalau diungkit kesalahan masa lalunya pasti terpojok, sebab masa silam adalah bagian dari sejarah dirinya yang tidak bisa ia ubah. Siapapun tidak akan suka dinilai dengan masa lalunya. Sebab harapan terbentang mulai hari ini hingga ke depan. Dalam bertengkar pun kita perlu menjaga harapan dan bukan menghancurkannya. Sebab pertengkaran di antara orang yang masih mempunyai harapan, hanyalah sebuah foreplay dan jangan sampai menghancurkan peradaban cinta yang telah sedemikian mahal dibangun.

Kalau saya terlambat pulang dan ia marah, maka kemarahan atas keterlambatan itu sekeras apapun kecamannya adalah “ungkapan rindu yang keras”. Tapi bila itu dikaitkan dengan seluruh keterlambatan saya, minggu lalu, awal bulan kemarin dan dua bulan lalu, maka itu membuat saya terpuruk jatuh.

Bila teh yang disajinya tidak manis, sepedas apapun saya marah, maka itu adalah “harapan untuk disayangi lebih tinggi”. Tapi kalau itu dihubungkan dengan kesalahannya kemarin dan tiga hari lewat, plus tuduhan “Sudah tidak suka lagi ya dengan saya,” maka saya telah menjepitnya dengan hari yang telah pergi, saya menguburnya dimasa lalu, ups! Saya telah membunuhnya, membunuh cintanya.

Kalau marah jangan bawa-bawa keluarga!  Kata ayah saya, “Teman seribu masih kurang, musuh satu terlalu banyak”. Memarahi orang yang mencintai saya, lebih mudah dicari maafnya daripada ngambek pada tidak mengenal hati dan diri saya… Dunia sudah diambang pertempuran, tidak usah ditambah-tambah dengan memusuhi ibunya!

Kalau marah jangan di depan anak-anak. Anak adalah buah cinta kasih, bukan buah kemarahan dan kebencian. Dia tidak lahir lewat pertengkaran kita. Karena itu, mengapa mereka harus menonton komedi liar rumah kita? Anak yang melihat orang tuanya bertengkar, bingung harus memihak siapa. Membela ayah, bagaimana ibunya? Membela ibu, tapi itu kan bapak saya.

Misal ketika anak mendengar ayah-ibunya bertengkar:
Ibu         : “Saya ini capek, saya bersihkan rumah, saya masak, dan kamu datang main suruh begitu, memang saya ini babu?!”
Bapak    : “Saya juga capek, kerja seharian, kamu minta ini dan itu, dan aku harus mencari lebih banyak untuk itu. Saya datang hormatmu tak ada, memang saya ini kuda?!”
Anak      : “Yaaa… Ibu saya babu, bapak saya kuda… Terus saya ini siapa?”

Kita harus berani berkata: “Hentikan pertengkaran!” ketika anak datang, lihat mata mereka, dalam binarannya ada rindu dan kebersamaan. Pada tawanya ada jejak kerjasama yang romantic, haruskah ia mendengar kata bahasa hati kita?

Kalau marah jangan lebih dari satu waktu shalat! Pada setiap tahiyyat kita berkata, “Assalaa-mu ‘alaynaa wa ‘alaa’ibaadilahissholiihiin,” Ya Allah damai atas kami, demikian juga atas hamba-hambaMu yang sholeh.

Nah, andai setelah salam kita cemberut lagi, maka kita telah mendustaiNya, padahal nyawamu di tanganNya.

Ok, marahlah sepuasnya kala senja, tapi habis Maghrib harus terbukti lho itu janji dengan Ilahi. Marahlah habis Subuh, tapi jangan lewat waktu Zuhur, atau Maghrib sebatas Isya.. Atau habis Isya sebatas..? Nnngg.. Ah, kayaknya kalau habis Isya sebaiknya memang tidak bertengkar.. Tapi jelas memang begitu, selama ada cinta, bertengkar hanyalah “proses belajar untuk mencintai lebih intens” ternyata ada yang masih setia dengan kita walau telah kita maki-maki.

Tidak ada komentar: