Bertengkar adalah fenomena yang sulit dihindari dalam
kehidupan berumah tangga. Kalau seseorang berkata, “Saya tidak pernah
bertengkar dengan isteri saya!” kemungkinannya dua, boleh jadi dia belum
beristri dan ia tengan berdusta. Yang jelas kita perlu menikmati saat-saat
bertengkar itu, sebagaimana lebih menikmati lagi saat tidak bertengkar.
Bertengkar itu sebenarnya sebuah keadaan diskusi, hanya saja diantarkaan dalam
muatan emosi.
Kalau tahu etikanya, dalam bertengkar pun kita bisa mereguk
hikmah. Betapa tidak, setiap kata yang terucap mengandung muatan perasaan yang
sangat dalam, yang mencuat dengan desakan energi yang tinggi, pesan-pesannya
terasa kental, lebih mudah dicerna ketimbang basa-basi tanpa emosi.
Ketika akan menikah, cobalah untuk memikirkan dan merancang
masa depan kehidupan berumah tangga. Satu hal yang jangan sampai terlupa adalah
merumuskan apa yang harus dilakukan jika bertengkar. Beberapa poin di bawah ini
barangkali bisa menjadi “ikatan pengertian” disaat bertengkar.
Kalau bertengkar tidak boleh berjamaah. Cukup seorang saja
yang marah-marah, yang terlambat mengirim sinyal nada tinggi harus menunggu
sampai yang satu reda. Untuk urusan marah pantang berjamaah. Seorangpun sudah
cukup membuat rumah jadi meriah. Ketika anda marah dan dia mau menyela, segera
anda katakana, “Stop! Ini giliran saya!” Begitupun jika giliran dia yang marah,
jangan ikut ambil bagian.
Marahlah untuk persoalan itu saja, jangan ungkit yang telah
using. Siapapun kalau diungkit kesalahan masa lalunya pasti terpojok, sebab
masa silam adalah bagian dari sejarah dirinya yang tidak bisa ia ubah. Siapapun
tidak akan suka dinilai dengan masa lalunya. Sebab harapan terbentang mulai
hari ini hingga ke depan. Dalam bertengkar pun kita perlu menjaga harapan dan
bukan menghancurkannya. Sebab pertengkaran di antara orang yang masih mempunyai
harapan, hanyalah sebuah foreplay dan jangan sampai menghancurkan peradaban
cinta yang telah sedemikian mahal dibangun.
Kalau saya terlambat pulang dan ia marah, maka kemarahan
atas keterlambatan itu sekeras apapun kecamannya adalah “ungkapan rindu yang
keras”. Tapi bila itu dikaitkan dengan seluruh keterlambatan saya, minggu lalu,
awal bulan kemarin dan dua bulan lalu, maka itu membuat saya terpuruk jatuh.
Bila teh yang disajinya tidak manis, sepedas apapun saya
marah, maka itu adalah “harapan untuk disayangi lebih tinggi”. Tapi kalau itu
dihubungkan dengan kesalahannya kemarin dan tiga hari lewat, plus tuduhan
“Sudah tidak suka lagi ya dengan saya,” maka saya telah menjepitnya dengan hari
yang telah pergi, saya menguburnya dimasa lalu, ups! Saya telah membunuhnya,
membunuh cintanya.
Kalau marah jangan bawa-bawa keluarga! Kata ayah saya, “Teman seribu masih kurang,
musuh satu terlalu banyak”. Memarahi orang yang mencintai saya, lebih mudah
dicari maafnya daripada ngambek pada tidak mengenal hati dan diri saya… Dunia
sudah diambang pertempuran, tidak usah ditambah-tambah dengan memusuhi ibunya!
Kalau marah jangan di depan anak-anak. Anak adalah buah
cinta kasih, bukan buah kemarahan dan kebencian. Dia tidak lahir lewat
pertengkaran kita. Karena itu, mengapa mereka harus menonton komedi liar rumah
kita? Anak yang melihat orang tuanya bertengkar, bingung harus memihak siapa.
Membela ayah, bagaimana ibunya? Membela ibu, tapi itu kan bapak saya.
Misal ketika anak mendengar ayah-ibunya bertengkar:
Ibu : “Saya ini
capek, saya bersihkan rumah, saya masak, dan kamu datang main suruh begitu,
memang saya ini babu?!”
Bapak : “Saya juga
capek, kerja seharian, kamu minta ini dan itu, dan aku harus mencari lebih
banyak untuk itu. Saya datang hormatmu tak ada, memang saya ini kuda?!”
Anak : “Yaaa… Ibu
saya babu, bapak saya kuda… Terus saya ini siapa?”
Kita harus berani berkata: “Hentikan pertengkaran!” ketika
anak datang, lihat mata mereka, dalam binarannya ada rindu dan kebersamaan.
Pada tawanya ada jejak kerjasama yang romantic, haruskah ia mendengar kata
bahasa hati kita?
Kalau marah jangan lebih dari satu waktu shalat! Pada setiap
tahiyyat kita berkata, “Assalaa-mu ‘alaynaa wa ‘alaa’ibaadilahissholiihiin,” Ya
Allah damai atas kami, demikian juga atas hamba-hambaMu yang sholeh.
Nah, andai setelah salam kita cemberut lagi, maka kita telah
mendustaiNya, padahal nyawamu di tanganNya.
Ok, marahlah sepuasnya kala senja, tapi habis Maghrib harus terbukti
lho itu janji dengan Ilahi. Marahlah habis Subuh, tapi jangan lewat waktu
Zuhur, atau Maghrib sebatas Isya.. Atau habis Isya sebatas..? Nnngg.. Ah,
kayaknya kalau habis Isya sebaiknya memang tidak bertengkar.. Tapi jelas memang
begitu, selama ada cinta, bertengkar hanyalah “proses belajar untuk mencintai
lebih intens” ternyata ada yang masih setia dengan kita walau telah kita
maki-maki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar